PEMERINTAH DALAM
MENGATASI MASALAH SUKU BUNGA PERBANKAN
(SOFTKILL)
Kelompok :
·
Fera Lufhidarani Pranita (22210722)
·
Riesca Amanda (25210927)
·
Retno Ginanjar Rahayu (25210779)
·
Yelliana Ela Vita Kusumaningsih
(28210616)
UNIVERSITAS GUNADARMA
2014
Artikel 1
Kesimpulan
Suku
bunga akan memberikan dampak pada ;
Suku
bunga deposito dan kredit yang disalurkan, harga asset, nilai tukar dan
ekspektasi inflasi. Suku bunga deposito dan kredit yang disalurkan dan harga
asset akan berpengaruh terhadap konsumsi dan investasi dalam ekonomi. Sedangkan
nilai tukar akan mempengaruhi ekspor. Konsumsi, investasi dan ekspor merupakan
variabel dalam pertumbuhan ekonomi. Namun, pertumbuhan ekonomi yang diharapkan
tidak didukung dengan likuiditas perbankan yang dapat menompang perekonomian,
bahkan suku bunga yang tinggi dan defisit yang membesar berdampak pada
penurunan pertumbuhan ekonomi yang mempengaruhi kemiskinan. Salah satunya
praktek kartel, implikasinya terlihat dari struktur pasar yang bersifat
oligopoly, dua aspek ini disebut kapitalisme perbankan. Kebijakan perbankan
dengan suku bunga yang tinggi perlu dilakukan agar dunia usaha (sektor rill)
dapat bergerak. Minimnya likuiditas yang akan dirasakan di sektor rill dalam
beberapa tahun kedepan akibat imbasnya dari global economic crisis memerlukan
langkah komprehensif dari dunia perbankan dalam meningkatkan kredit yang harus
segera dilakukan agar pertumbuhan ekonomi dapat dijaga dan penanggulangan
kemiskinan dapat berjalan dengan baik.
Beberapa
kontenks dalam menciptakan suku bunga dan kebijakan moneter yang pro terhadap
penganggulan kemiskinan diperlukan kebijakan sebagai berikut :
a. Bank
Indonesia harus segera melakukan kebijakan moneter akomodatif melalui kebijakan
suku bunga rendah.
Krisis
global masih akan dirasakan oleh indonesia, malahan rambatannya semakin kuat
dirasakan buktinya neraca pembayaran terus mengalami defisit. Kondisi fiscal
juga tidak kuat sehingga kebijakan moneter akomodatif perlu dilakukan seperti
yang dilakukan oleh negara maju saat ini. Tujuannya agar likuiditas dapat
dijaga sehingga dapat menyokong pertumbuhan ekonomi yang nantinya akan
berdampak pada kemiskinan.
b. Kebijakan
financial inclusion dengan mendorong intermediasi perbankan pada kelompok UMKM
dan masyarakat miskin.
Saat
ini akses UMKM dan masyarakat miskin masih sangat rendah terhadap perbankan. Pelaku
usaha perbankan juga masih memarginalkan kelompok ini. Perbankan cenderung
berupaya pada peningkatkan profit tanpa berorientasi pada pemerataan akses yang
cenderung meningkatkan biaya operasional. Disinilah peranan bank indonesia dan
otoritas jasa keuangan (OJK) agar mendorong perbankan untuk menyediakan
layanan-layanan produk perbankan yang pro pada UMKM dan masyarakat miskin.
c. Perlu
ada regulasi agar dunia perbankan menurunkan tingkat suku bunga kredit.
Bank Indonesia dan OJK
perlu tegas untuk menciptakan aturan bagi penetapan suku bunga kredit. Ini
titik poin dalam upaya mendorong investasi di indonesia. Terjadinya praktek
oligopoli yang mengarah pada kartel usaha merupakan penyebab terjadinya tingkat
suku bunga tinggi. Ini merupakan tugas OJK nantinya dalam melakukan pengawasan
terhadap perbankan.
d. Mendorong
penguat kredit di sektor pertanian terutama pada kelompok usaha mikro
pertanian.
Kantong-kantong
kemiskinan berada di sektor pertanian. Kesulitan petani berada pada di
persoalan permodalan. Untuk itu pemerintah perlu memperkuat aturan mengenai KUR
agar distribusinya jatuh pada kelompok petani. Dengan disahkannya Undang-Undang
No.1 Tahun 2013 menyatakan bahwa “Lembaga keuangan Mikro (LKM) merupakan solusi
dalam rangka mengatasi rndahnya akses masyarakat kecil terhadap lembaga
keuangan”.
Artikel
:
Artikel 2
Pengalaman menunjukkan, kebijakan suku bunga tinggi akan membawa Indonesia
ke lembah krisis. Tahun 1997/1998 BI menerapkan kebijakan suku bunga tinggi
hingga money market sampai dengan 70% untuk meredam inflasi. Efeknya kurang
mendorong pertumbuhan ekonomi dan justru terjadi kontraksi yang cepat dan
besar. Dampak yang berat dari kebijakan tersebut ialah banyak dunia usaha yang
hancur (kredit menjadi puso atau macet). Nilai tukar rupiah menyala sampai
dengan di atas Rp15.000 per US$1. Bank-bank masuk jurang dengan kelojotan
likuiditas yang kering. Akhirnya bank-bank masuk perawatan dan tidak sedikit
yang menjadi almarhum. Pemerintah Indonesia pun mem-bailout bank-bank
sampai dengan Rp650 triliun.
Tahun 2005 dan 2008 pola yang sama kembali dianut, kendati agak berbeda
efeknya. Pada 2005 kenaikan harga BBM yang tajam juga mengerek suku bunga dan
tak berbeda pada 2008. Kebijakan menaikkan suku bunga ini justru membuat
situasi pasar mencari keseimbangan baru yang bukan berarti tidak menelan
korban. Namun, kebijakan yang diambil pemerintah (BI) pada 2008 relatif
berhasil karena krisis tidak sampai melumatkan ekonomi Indonesia, hanya menekan
pertumbuhan ekonomi menjadi di kisaran 4,1%. Kebijakan bailout terhadap Bank
Century yang dilakukan pemerintah dengan mekanisme asuransi (bukan APBN seperti
1998) bisa jadi ikut berperan dalam menahan krisis perbankan.
Jika suku bunga naik, hastrat untuk melakukan konsumsi (propensity to consume) akan berkurang, begitu pula
hasrat untuk investasi. Selanjutnya, melemahnya konsumsi (C) dan investasi (I)
akan mengurangi permintaan agregat (aggregate demand). Di
sisi lain dengan suku bunga yang lebih tinggi BI ingin menghimpun dana
masyarakat dan memperkuat likuiditas dolar AS karena akan banyak pemilik dolar
AS konversi ke rupiah dengan bunga bank yang lebih tinggi hingga di akhir akan
menguatkan kembali nilai tukar rupiah.
Dalam keadaan ini Pemerintah
melakukan tindakan kebijakan Moneter untuk mengantisipasi terjadinya inflasi
akibat terjadinya kenaikan suku bunga salah satunya adalah dengan mengeluarkan
kebijakan moneter. Kebijakan moneter adalah proses di mana pemerintah,
bank sentral, atau otoritas moneter suatu negara kontrol suplai uang,
ketersediaan uang, dan biaya uang atau suku bunga untuk mencapai menetapkan
tujuan berorientasi pada pertumbuhan dan stabilitas ekonomi.
Kebijakan Moneter bertumpu pada hubungan antara tingkat bunga dalam suatu
perekonomian, yaitu harga di mana uang yang bisa dipinjam, dan pasokan total
uang. Kebijakan moneter menggunakan berbagai alat untuk mengontrol salah satu
atau kedua, untuk mempengaruhi hasil seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi,
nilai tukar dengan mata uang lainnya dan pengangguran. Dimana mata uang adalah
di bawah monopoli penerbitan, atau dimana ada sistem diatur menerbitkan mata
uang melalui bank-bank yang terkait dengan bank sentral, otoritas moneter
memiliki kemampuan untuk mengubah jumlah uang beredar dan dengan demikian
mempengaruhi tingkat suku bunga (untuk mencapai kebijakan gol).
Kebijakan moneter akan mempengaruhi pasar uang dan pasar surat berharga,
dan pasar uang dan surat berhargta itu akan menentukan tinggi rendahnya tingkat
bunga, dan tingkat bunga akan memperngaruhi tingkat agregat. Kebijakan fiskal
akan mempunyai pengaruh terhadap permintaan dan penawaran agregat, yang pada giliranya
permintaan dan penawaran agregat itu akan menentukan keadaan di pasar barang
dan jasa. Kondisi di pasar barang dan jasa ini akan menentukan tingkat harga
dan kesempatan kerja akan menentukan tingkat pendapatan dan tingkat upah yang
di harapkan. Keduanya akan memiliki umpan balik yaitu pendapatan akan
memberikan umpan balik terhadap permintaan agregat dan upah harapan mempunyai
umpan balik terhadap penawaran agregat dan pasar uang serta pasar surat
berharga.
Bank Indonesia memiliki lima peran utama dalam
menjaga stabilitas sistem keuangan. Kelima peran utama yang mencakup kebijakan
dan instrumen dalam menjaga stabilitas sistem keuangan itu adalah:
Pertama, Bank Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas moneter
antara lain melalui instrumen suku bunga dalam operasi pasar terbuka. Bank
Indonesia dituntut untuk mampu menetapkan kebijakan moneter secara tepat dan
berimbang. Hal ini mengingat gangguan stabilitas moneter memiliki dampak
langsung terhadap berbagai aspek ekonomi. Kebijakan moneter melalui penerapan
suku bunga yang terlalu ketat, akan cenderung bersifat mematikan kegiatan
ekonomi. Begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, untuk menciptakan stabilitas
moneter, Bank Indonesia telah menerapkan suatu kebijakan yang disebut inflation
targeting framework.
Kedua,
Bank Indonesia memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja lembaga keuangan
yang sehat, khususnya perbankan. Penciptaan kinerja lembaga perbankan seperti
itu dilakukan melalui mekanisme pengawasan dan regulasi. Seperti halnya di negara-negara
lain, sektor perbankan memiliki pangsa yang dominan dalam sistem keuangan. Oleh
sebab itu, kegagalan di sektor ini dapat menimbulkan ketidakstabilan keuangan
dan mengganggu perekonomian. Untuk mencegah terjadinya kegagalan tersebut,
sistem pengawasan dan kebijakan perbankan yang efektif haruslah ditegakkan.
Selain itu, disiplin pasar melalui kewenangan dalam pengawasan dan pembuat
kebijakan serta penegakan hukum (law enforcement) harus dijalankan. Bukti yang
ada menunjukkan bahwa negara-negara yang menerapkan disiplin pasar, memiliki
stabilitas sistem keuangan yang kokoh. Sementara itu, upaya penegakan hukum
(law enforcement) dimaksudkan untuk melindungi perbankan dan stakeholder serta
sekaligus mendorong kepercayaan terhadap sistem keuangan. Untuk menciptakan
stabilitas di sektor perbankan secara berkelanjutan, Bank Indonesia telah
menyusun Arsitektur Perbankan Indonesia dan rencana implementasi Basel II.
Ketiga,
Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran. Bila terjadi gagal bayar (failure to settle) pada salah satu
peserta dalam sistem sistem pembayaran, maka akan timbul risiko potensial yang
cukup serius dan mengganggu kelancaran sistem pembayaran. Kegagalan tersebut
dapat menimbulkan risiko yang bersifat menular (contagion risk) sehingga
menimbulkan gangguan yang bersifat sistemik. Bank Indonesia mengembangkan
mekanisme dan pengaturan untuk mengurangi risiko dalam sistem pembayaran yang
cenderung semakin meningkat. Antara lain dengan menerapkan sistem pembayaran
yang bersifat real time atau dikenal dengan nama sistem RTGS (Real Time Gross
Settlement) yang dapat lebih meningkatkan keamanan dan kecepatan sistem
pembayaran. Sebagai otoritas dalam sistem pembayaran, Bank Indonesia memiliki
informasi dan keahlian untuk mengidentifikasi risiko potensial dalam sistem
pembayaran.
Keempat, melalui fungsinya dalam riset dan pemantauan, Bank Indonesia dapat
mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan.
Melalui pemantauan secara macroprudential, Bank Indonesia dapat memonitor
kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi potensi kejutan (potential shock)
yang berdampak pada stabilitas sistem keuangan. Melalui riset, Bank Indonesia
dapat mengembangkan instrumen dan indikator macroprudential untuk mendeteksi
kerentanan sektor keuangan. Hasil riset dan pemantauan tersebut, selanjutnya
akan menjadi rekomendasi bagi otoritas terkait dalam mengambil langkah-langkah
yang tepat untuk meredam gangguan dalam sektor keuangan.
Kelima,
Bank Indonesia memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sistim keuangan melalui
fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort (LoLR). Fungsi LoLR
merupakan peran tradisional Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam mengelola
krisis guna menghindari terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan. Fungsi
sebagai LoLR mencakup penyediaan likuiditas pada kondisi normal maupun krisis.
Fungsi ini hanya diberikan kepada bank yang menghadapi masalah likuiditas dan
berpotensi memicu terjadinya krisis yang bersifat sistemik. Pada kondisi
normal, fungsi LoLR dapat diterapkan pada bank yang mengalami kesulitan
likuiditas temporer namun masih memiliki kemampuan untuk membayar kembali.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai LoLR, Bank Indonesia harus menghindari
terjadinya moral hazard. Oleh karena itu, pertimbangan risiko sistemik dan
persyaratan yang ketat harus diterapkan dalam penyediaan likuiditas tersebut.
Indikator Pengukuran Stabilitas Sistem
Keuangan
Indikator microprudential (Agregat)
|
Indikator makroekonomi
|
Kecukupan modal
|
Pertumbuhan ekonomi
|
Rasio modal agregat
|
Tingkat pertumbuhan agregat
|
Kualitas Aset
|
Sektor ekonomi yang jatuh
|
- Bagi Kreditur
|
BOP
|
Konsentrasi kredit secara sektoral
|
Defisit neraca berjalan
|
Pinjaman dalam mata uang asing
|
Kecukupan cadangan devisa
|
Pinjaman terhadap pihak terkait, kredit macet (NPL)
dan pencadangannya
|
Pinjaman luar negeri (termasuk struktur jangka waktu)
|
- Bagi Debitur
|
Term of trade
|
DER (rasio hutang thd modal), laba perusahaan
|
Komposisi dan jangka waktu aliran modal
|
Manajemen Sistem Keuangan yang Sehat
|
Inflasi
|
Pertumbuhan jumlah lembaga keuangan, dan lain-lain
|
Volatilitas inflasi
|
Pendapatan dan Keuntungan
|
Suku Bunga dan Nilai Tukar
|
ROA, ROE, dan rasio beban terhadap pendapatan
|
Volatilitas suku bunga dan nilai tukar
|
Likuiditas
|
Tingkat suku bunga domestik
|
Kredit bank sentral kpd Lemb.Keu, LDR, struktur jangka
waktu aset dan kewajiban
|
Stabilitas nilai tukar yang berkelanjutan
|
Sensitivitas terhadap risiko pasar
|
Jaminan nilai tukar
|
Risiko nilai tukar, suku bunga dan harga saham
|
Efek menular
|
Indikator berbasis pasar
|
Trade spillover
|
Harga pasar instrumen keuangan, peringkat kredit,
sovereign yield spread, dll.
|
Korelasi pasar keuangan
|
|
Faktor-faktor lain
|
|
Investasi dan pemberian pinjaman yang terarah
|
|
Dana pemerintah pada sistem perbankan
|
|
Hutang jatuh tempo
|
Link
http://www.ojk.go.id/peran-bi