PENGUASAAN ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di Indonesia memang masih dinilai rendah. Sebab, iptek di sini masih seperti barang mahal. Anggaran negara sampai sekarang masih diprioritaskan untuk ekonomi.
Padahal, globalisasi sudah bergulir deras. Karena itu, tak ada kata lain selain harus mengikuti arus globalisasi. Namun, apakah globalisasi harus mengorbankan jati diri bangsa dan memberangus nilai-nilai kearifan lokal? Berikut pandangan Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) Kusmayanto Kadiman tentang tantangan globalisasi.
Bagaimana kondisi iptek terkini? Kalau kita mau merunut ke belakang, yaitu pada zaman renaissance (kebangkitan) itu sama sekali bukan karena iptek yang mendorong kebangkitan tersebut.Yang mendorong renaissance adalah budaya dan perut.Sebab, orang-orang sudah capek saat hidup dalam era kegelapan dan mereka sengsara sehingga ingin keluar dari zaman itu.
Begitu melakukan revolusi budaya, mereka menempatkan iptek sebagai bagian dari budaya. Jadi, jika dilihat pre-renaissance, iptek belum bunyi di Eropa. Namun, post renaissance antara budaya dan iptek tak lagi terpisahkan, mana yang budaya dan mana yang iptek. Baik itu di Belanda, Jerman, Inggris, maupun Prancis, sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan.
Kondisi kita sama seperti prerenaissance? Betul
Apa yang bisa dilakukan?
Kalau menurut saya, ayo kita kembali kepada apa yang kita punya, kemudian apa-apa yang bagus dari sana kita pakai. Contoh yang paling sederhana, kita silau dengan istilah inovasi. Sepertinya, kalau mendengar kata inovasi itu segalanya.
Ternyata, inovasi sebetulnya merupakan rentetan dari yang kita mengerti, menirukan, kemudian kita beri nilai tambah. Apabila kembali pada rumus Ki Hajar Dewantara, tidak lain adalah niteni, niroeake, dan nambahake. Sederhana rumusnya, tapi sebenarnya ini sebuah konsep yang kompleks.
Itu kalau saya gunakan kata-kata yang bombastis, bagaimana kita menyikapi globalisasi sambil kita melakukan fortifikasi (pembentengan). Dua-duanya sama penting.Kita sudah paham globalisasi sudah tidak bisa ditahan. Namun, jangan lupa, fortifikasi harus dilakukan. Itulah bagaimana globalisasi ini kita sikapi secara simultan dengan melakukan fortifikasi.
Contoh sederhananya? Nah, kalau kita bicara produk, pembentengan itu apa? Menumbuhkan budaya aku cinta produk dalam negeri. Aku cinta produk Indonesia itu bukan hanya di bibir. Jadi, kalau membeli barang, dilihat dulu apakah made in Indonesia atau tidak? Boleh saja lisensi teknologi dari luar, tapi ada kata made in Indonesia dan saya akan bangga. Namun, di masyarakat kita apa yang terjadi?
Begitu ada produk Indonesia, kita enggak jadi beli. Bukan hanya di Indonesia, ketika masyarakat berada di luar negeri, hal itu juga terjadi, misalnya dia (warga negara Indonesia) pilih baju di Carrefour, Prancis, lalu suka warna, bahan, dan harganya juga bagus. Begitu dibuka plastiknya, ada tulisan made in Indonesia. Lalu, dia enggak jadi beli. Alasannya, apa kata orang?
Katanya jalan-jalan ke Paris, tapi baju yang dibeli made in Indonesia. Itu merupakan pola pikir yang salah. Seharusnya, dia bergeser, menjadikan itu sebagai kebanggaan, yaitu oleh-oleh dari Carrefour di Prancis buatan Indonesia. Betapa bangganya produk Indonesia menjadi kelas dunia.
Itu contohnya, dijual di Paris saat bayar ke kasir memberi tahu kasirnya bahwa alasan membeli baju tersebut karena merupakan produk Indonesia. Jadi, kita harus bergeser dari perangkap yang kita bikin sendiri. Sekarang ini, kita berada di zaman di mana kita bahagia memerangkapkan diri ke perangkap yang kita bikin.
Keledai pun tidak seburuk itu kan? Katak dalam tempurung pun tidak seburuk itu karena tempurungnya bukan buatan dia. Begitulah kita orang Indonesia memperlakukan iptek. Aku cinta produk Indonesia hanya akan ada di bibir. Kalau mencari kesalahan, kita jagonya. Sementara itu, untuk memuji keberhasilan kawan, kita agak lemah di situ.
Butuh langkah apa untuk melewati masa transisi? Mestinya mulailah dari yang kecil, mulai dari sekarang dan diri sendiri, ini merupakan pernyataan Aa Gym yang sangat bagus. Hanya itu kuncinya! Kita selalu terlena dengan pernyataan tunggu pimpinan kita yang hebat. Loh kok masih menunggu? Bukankah setiap orang merupakan pemimpin.
Minimum pemimpin untuk diri sendiri kalau dia enggak bisa bagaimana memimpin keluarga, desa, atau negaranya. Itu saja kuncinya. Jadi, konsep besarnya adalah harmonisasi globalisasi dengan fortifikasi. Kemudian diturunkan menjadi langkah konkret, misalnya Gabungan Pengusaha Jamu memiliki pasar yang lebih besar. Sekarang sudah mulai ada tanda-tandanya.
Dulu yang namanya masuk angin itu konotasinya jika Anda datang ke dokter, hanya akan ditertawakan. Dia enggak mengerti karena di sekolahnya tidak diajarkan masuk angin. Padahal, semua orang dari berbagai generasi mengalami masuk angin setiap hari. Kita harus mencarikan solusinya perut kembung, kepala pusing, badan meriang, kita carikan entah minum jahe, temu lawak, atau daun pegagan, kan sudah ada secara tradisional.
Namun, sekarang apa yang kita lakukan sangat bertolak belakang. Kalau pusing, kita mencari paracetamol atau aspirin. Akibatnya, karena ulah kita itu, porsi obat tradisional terpinggirkan. Dari 100 unit obat di Indonesia, coba tengok berapa persen yang dikategorikan sebagai jamu dan berapa persen nonjamu? Anda enggak akan kaget kalau angka perbandingannya 9:1.
Sedihnya, duitnya pasti pergi. Sedih kan? Kita boroskan uang, tapi menguntungkan orang lain. Jadi, melulu kita hanya kena dampak negatif dari globalisasi. Itu salah satu contohnya. Nah, sekarang bagaimana untuk pembentengan? Indikator yang paling gampang dari 9:1 menjadi 9:2,7:3, 6:4,atau 5:5 dan seterusnya. Mari kita lihat, kenapa obat bisa masuk ke masyarakat secara teknoekonomi dan sosiobudaya.
Jadi, ada empat ukuran,yaitu teknologi,ekonomi, sosial,dan budaya. Mari kita lihat jamu,secara teknoekonomi, apa kurangnya dia? Kalau murah enggak takut. Jamu memang murah, tapi teknologinya masih kurang. Habis jamu kampungan sih, kemasannya enggak bagus, cepat rusak. Maka itu, sekarang muncul obat masuk angin.
Kalau selama ini hanya produsen jamu dan obat tradisional yang memiliki khasiat untuk mengobati masuk angin, kini perusahaan besar pun mulai memproduksinya. Artinya, sudah ada pengakuan bahwa penyakit masuk angin itu ada, contohnya grup Kalbe Farma sudah membuat ’’Bintangin”.
Lebih hebat lagi nanti kalau Bayer atau Roche juga bikin ini. Hal tersebut hanya masalah waktu. Sebab, pangsa pasarnya begitu besar. Begitu juga produk-produk yang dihasilkan Mustika Ratu,Martha Tilaar, dan obat kecantikan mulai ditengok. Loreal mulai melirik pemutih dengan bengkuang. Itu masalah teknologi dan pengemasan dari segi teknoekonomi.
Yang berat adalah masalah sosio budaya. Orang-orang kita tergiur kalau yang mengiklankan orang bule. Begitu juga dengan produk-produk yang lain, misalnya sistem persenjataan. Kita kan tergiur dengan panser buatan Prancis, tank buatan Amerika Serikat (AS), senjata AS dan Rusia, AK47, M16, dan lain-lain. Kenapa sih mesti tergiur dengan produksi mereka?
Sudah mahal, risikonya juga tinggi. Begitu kita diembargo, kita enggak punya apa-apa. Punya senjatanya, tapi tidak bisa digunakan karena enggak ada peluru dan spare part-nya, lumpuhlah kita. Ayo kita keluar dari perangkap itu, kita kasih nama sendiri lalu bangga dengan produk Indonesia.
Seberapa besar potensi teknologi pertahanan dan keamanan? Prinsip saya, kalau negara lain bisa,kita pasti bisa.Ya buktinya sekarang, kita sudah punya padanaannya AK47 dan M16, yakni senapan serbu (SS)1 dan SS2. Ternyata, kalau tentara kita pakai SS, juara di mana-mana saat pertandingan, misalnya pertandingan Angkatan Darat di Australia dan Thailand. Di sana, Indonesia juara dengan senapan yang dibikin sendiri.
Cocok untuk postur Indonesia. Tinggi orang Indonesia berapa dan beratnya berapa? Suruh bawa ransel buatan Amerika ya bisa bawa, enggak bisa jalan. Itu yang saya maksud fortifikasi. Memang mereka (negara asing) bisa bikin, tapi biaya produksinya menjadi lebih tinggi karena harus melakukan penyesuaian dengan kebutuhan orang Indonesia.
Mereka perlu riset dulu dan lainlain. Lah kita enggak perlu riset, semua ada di tangan kita. Bangsa ini sudah mulai mengembangkan teknologi pertahanan sejak zaman Pak Habibie,sekali lagi pada waktu itu kita selalu terlena. Satu, kita terlambat membangunnya. Kedua, terlena dengan utang. Utang ini sepertinya murah, tapi kemudian apa implikasinya harus membeli produk dari negara pemberi utang.
Jadi, utang itu bagaikan perumpamaan, badan saya dekil nih pengin mandi, oke dikasih ember, air sudah bersih, tapi ember sama airnya nanti dibawa lagi dan mesti bayar. Nanti lima hari lagi, enggak enak lagi, butuh mandi lagi dan bayar lagi. Begitu terus karena kita kecanduan dan ketergantungan. Padahal, kita punya air, masak sih enggak bisa bikin ember?
Kita harus mulai produk yang kita cari, contohnya SS2 yang kita kembangkan dari SS1. Sekarang sudah bisa untuk pelontar granat. Kita juga punya teropong mini malam. Ini perjuangan yang panjang. Jangan hanya bisa bikin, tapi enggak bisa jual. Itu juga penting dengan segala macam cara.
Contoh kemarin, kenapa kita begitu terpesona dengan Skytruck buatan Polandia? Kita hitung perbandingannya, kita bisa bikin. Namun, karena mendapatkan pinjaman dari mereka, akhirnya dilirik juga. Kalau masalah itu, saya pun enggak mau bilang apa-apa. Ya sudah…
Berapa persentase belanja pertahanan memanfaatkan teknologi lokal? Saya kira pertumbuhannya bagus. Pada 2005, itu masih singel digit, pada 2006 sudah masuk dua digit, mulai amunisi hingga seragam, kan enggak lucu kalau harus impor semua. Salah satunya seragam yang mesti impor. Padahal, produksi kapasnya dari Indonesia semua. Jadi,tidak hanya obat dan militer, termasuk yang lain-lain juga begitu.
Peran perbankan? Itu banyak sebabnya, dulu memang ada aturan yang menyatakan tidak boleh mendukung industri militer. Namun sekali lagi, peraturan itu kita yang bikin, kok enggak boleh ya? (foto : humasristek)