Kamis, 12 Mei 2011

Distribusi pendapatan dan kemiskinan

Disparitas Distribusi Pendapatan di Indonesia

Tingginya Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara belum tentu mencerminkan meratanya terhadap distribusi pendapatan. Kenyataan menunjukkan bahwa pendapatan masyarakat tidak selalu merata, bahkan kecendrungan yang terjadi justru sebaliknya. Distribusi pendapatan yang tidak merata akan mengakibatkan terjadinya disparitas. Semakin besar perbedaan pembagian “kue” pembangunan, semakin besar pula disparitas distribusi pendapatan yang terjadi. Indonesia yang tergolong dalam negara yang sedang berkembang tidak terlepas dari permasalahan ini. Kebijakan-kebijakan stabilisasi yang diambil oleh presiden Soeharto dan tim ekonominya dari tahun 1966 sampai tahun 1969 sangat sukses dalam upaya menurunkan inflasi ke level digit satu, dan memulihkan perekonomian menuju pertumbuhan ekonomi yang terus menerus. Namun dampaknya terhadap ketimpangan pendapatan menimbulkan banyak perdebatan. King dan Weldon (1977) dalam Booth (2000), membandingkan data pendapatan rumah tangga dan pengeluaran rumah tangga dari beberapa sumber untuk pulau jawa pada tahun 1963-1964 hingga tahun 1970. Mereka menemukan fakta terdapatnya ketidakmerataan pertumbuhan di daerah perkotaan (terutama Jakarta) walaupun di daerah pedesaan jauh lebih tidak
mencolok. Pada tahun 1964 -1965, ketika inflasi dan dislocation ekonomi tinggi, menunjukan bahwa inflasi dan stagnasi ekonomi mempunyai pengaruh lebih kuat terhadap pekerja urban. terutama mereka yang mempunyai pendapatan tetap, seperti pegawai pemerintah. Di daerah pedesaan, the better-off farmers yang mempunyai surplus makanan untuk dijual meningkatkan pendapatan relative mereka para pekerja urban dan orang miskin pedesaan. Ini menjelaskan, bahwa pada pertengahan 1960 ketimpangan antara pedesaan dan perkotaan dalam hal pengeluaran konsumsi rendah. Penemuan yang mengejutkan, menunjukkan bahwa ketidakmerataan sebenarnya lebih rendah di perkotaan dari pada di daerah pedesaan (sundrum 1973). Tren ini berubah secara lambat ketika inflasi turun dan pertumbuhan ekonomi meningkat. Pada tahun 1969 – 1970, Gini cooficient pengeluaran konsumsi per kapita di pedesaan Indonesia 0,34, yang mengindikasikan tingkat ketidakmerataan. Hal ini sedikit lebih rendah di daerah perkotaan, dimana berdasarkan survey tentang biaya hidup pada tahun 1968 – 1969 menunjukan bahwa Gini coefficient pendapatan rumah tangga sebesar 0.4 di Jakarta, Manado dan Yogyakarta, walaupun Gini cooficient di Bandung dan Surabaya, dan kebanyakan kota besar diluar jawa lebih rendah. Kesenjangan pengeluaran juga meningkat antara 1969-1970 hingga 1976, baik di perkotaan maupun pedesaan. Sebagaimana yang Asra (1989) dalam Booth (2000) tunjukkan, jika data pengeluaran pedesaan yang diambil pada 1976 dikoreksi berdasarkan perubahan harga yang berbeda oleh kelompok-kelompok desil, maka ketidakmerataan pengeluaran di pedesaan meningkat baik di pulau Jawa maupun di luar pulau Jawa. Di daerah perkotaan Jawa ketidakmetaraan dalam pengeluaran juga meningkat; Booth dan Sundrum (1981) memperkirakan bahwa pengeluaran di atas kelompok desil Jawa perkotaan meningkat 66% antara 1970 - 1976, dibandingkan dengan kenaikan kurang dari 20% di bawah kelompok desil. Rata-rata pengeluaran riil per kapita meningkat lebih cepat di Jakarta daripada di daerah perkotaan lainnya, dan lebih cepat di daerah perkotaan Jawa daripada di daerah perkotaan di luar pulau Jawa. Dampak dari trend ini adalah terdapatnya kesenjangan yang tajam antara perkotaan dan perdesaan, terutama di Jawa khususnya terhadap barang-barang non-makanan.
Beberapa trend ini kembali terjadi di tahun 1976 – 1981. Perhitungan Asra menyatakan bahwa antara tahun 1976 – 1981, laju inflasi secara umum sama untuk semua kelompok desil pengeluaran dalam distribusi, baik di Jawa dan di tempat lain. Di daerah pedesaan ada penurunan ketidakmerataan pengeluaran. Di pedesaan Jawa rata-rata
pengeluaran riil per kapita meningkat dengan pesat, namun menurun di daerah pedesaan luar Jawa.
Evaluasi terhadap distribusi hasil pembangunan yang telah dilaksanakan selama lebih dari 64 tahun selalu menyisakan problema mendasar tentang disparitas yang tidak pernah terselesaikan, dan hingga sekarang alasan untuk ini belum ditemukan. Sebuah analisis data panel yang dilakukan oleh Resosudarmo, et al. (2006) menegaskan bahwa kesenjangan dalam pendapatan per kapita provinsi di Indonesia relatif parah. Hal ini didasarkan pada fenomena, bahwa meskipun pertumbuhan PDB provinsi bervariasi dari waktu ke waktu, ada beberapa provinsi yang selalu, atau hampir selalu, berada di antara lima provinsi terkaya dan yang lain di antara lima termiskin. Kalimantan Timur, Riau, dan Jakarta selalu di antara provinsi terkaya dan Aceh telah dianggap sebagai provinsi yang memiliki PDB per kapita yang tinggi sejak awal 1980-an, sedangkan NTT selalu berada di antara yang termiskin. Ada beberapa periode ketika tingkat pertumbuhan PDB per kapita di Jakarta, Riau, Kalimantan Timur dan Aceh termasuk yang paling rendah, sedangkan orang-orang NTT dan NTB dianggap antara yang tertinggi. Namun, sejak awal PDB per kapita Jakarta, Riau, Kalimantan Timur dan Aceh relatif sangat tinggi, sementara NTT dan NTB relatif sangat rendah dibandingkan dengan yang lain.
Alisjahbana (2005) dalam Noegroho dan Soelistianingsih (2007), mengatakan bahwa ketimpangan juga sering terjadi secara nyata antara daerah kabupaten/kota di dalam wilayah propinsi itu sendiri. Kesenjangan antar daerah terjadi sebagai konsekuensi dari pembangunan yang terkonsentrasi. Berbagai program yang dikembangkan untuk menjembatani kesenjangan baik ketimpangan distribusi pendapatan maupun kesenjangan wilayah belum banyak membawa hasil yang signifikan. Bahkan yang sering terjadi adalah kebijakan pembangunan yang dilakukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tetapi justru dapat menambah kesenjangan baik terhadap distribusi pendapatan maupun kesenjangan wilayah. Lebih lanjut Noegroho dan Soelistianingsih (2007) menemukan bahwa masalah ketimpangan distribusi pendapatan tidak hanya tampak pada wajah ketimpangan antara pulau Jawa dan luar Jawa saja melainkan juga antar wilayah di dalam pulau Jawa itu sendiri, sebagaimana yang terjadi di Provinsi Jawa Tengah.
Secara lebih spesifik, Hariadi, et al, (2008) menganalisis distribusi pendapatan antar rumah tangga di Kabupaten Banyumas Jawa Tengah. Diperoleh hasil bahwa kenaikan ketimpangan distribusi pendapatan antar rumah tangga terjadi karena semakin menurunnya pendapatan relatif dan pendapatan riil oleh 40% kelompok masyarakat berpendapatan terendah yang diakibatkan oleh: (1) dari sisi penawaran antara lain terbatasnya kepemilikan dan kesempatan memperoleh
modal, keterbatasan kesempatan berusaha dan bekerja, posisi tawar yang lemah; (2) dari sisi permintaan antara lain karena kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan bagi usaha mereka dan permintaan yang rendah akibat inflasi dan kenaikan harga BBM sejak 2005 sehingga terjadi penurunan daya beli konsumen yang berakibat pada tidak meningkatnya pendapatan relatif bagi usaha kecil dan rumah tangga, sektor informal, petani, buruh dan pekerja/pegawai kecil. Kelompok masyarakat berpendapatan tinggi relatif tidak terpengaruh secara berarti dengan adanya inflasi dan kenaikan harga BBM serta kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan dibanding kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Lebih lanjut dikatakan, bahwa kesempatan kerja di sektor-sektor seperti industri besar, bangunan, perdagangan dan keuangan memang memberikan pendapatan dan nilai tambah yang tinggi namun ketersediaannya terbatas dan lebih banyak di perkotaan daripada di perdesaan yang didominasi oleh sektor primer, sehingga menimbulkan ketimpangan pendapatan terutama antara perkotaan dengan pedesaan.


Profil Kemiskinan di Indonesia


Booth (2000), dalam penelitiannya telah menginventarisir data kemiskinan di Indonesia secara empiris. Tahun 1976 – 1981 menunjukkan penurunan tingkat kemiskinan di daerah perkotaan dan pedesaan, dengan kecenderungan angka-angka di bawah garis kemiskinan turun lebih tajam di daerah pedesaan. Tahun 1981 diperkirakan terdapat 40.6 juta orang Indonesia di bawah garis kemiskinan, dimana 31,3 juta orang diantaranya berada di wilayah perdesaan, dan 9.3 juta sisanya ada di wilayah perkotaan.
Selama dekade 1975-1985, pendapatan per kapita buruh tani rumah tangga tumbuh sedikit lebih cepat dari pada rata-rata nasional, sementara orang-orang miskin petani (yang beroperasi kurang dari 0,5 hektar) tumbuh lebih lambat, sehingga pada tahun 1985 rumah tangga buruh tani berpenghasilan rata-rata sedikit lebih baik dari pada rumah tangga petani miskin.
Antara 1976-1981, yang merupakan tahun-tahun bonanza minyak, penurunan angka kemiskinan rata-rata per tahun menurut BPS adalah 5,6%. Setelah 1981, pendapatan Indonesia dari ekspor minyak mulai turun, dan pemerintah menghadapi serangkaian kebijakan yang di desain untuk peningkatan ekspor non minyak, melakukan verifikasi dasar pajak dalam negeri, menarik lebih banyak investasi asing, melakukan deregulasi sektor keuangan, dan meningkatkan efisiensi sektor perusahaan publik, dan kebijakan makro lainnya.
Tahun 1987-1996 (BPS), terjadi penurunan angka garis kemiskinan yang lebih lambat. Hal ini terutama terjadi di daerah pedesaan, sedangkan pada tahun 1976-1987 jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan di daerah pedesaan menurun hampir 7% per tahun, dan antara 1987 – 1996, tingkat penurunan angka kemiskinan tiap tahun melambat menjadi hanya sekitar 3% per tahun.
Antara tahun 1993 dan 1996, hasil Gini koefisien terhadap pengeluaran per kapita di daerah perkotaan Indonesia meningkat 0,33-0,36; di daerah pedesaan meningkat hanya sedikit, dan tetap jauh lebih rendah dari daerah perkotaan. Peningkatan kemiskinan relatif di daerah-daerah pedesaan juga jauh lebih rendah. Pada tahun 1996, jumlah penduduk di desa yang pengeluarannya di bawah setengah pengeluaran rata-rata, mencapai setengah dari jumlah penduduk di perkotaan. Ada juga bukti bahwa sejak pertengahan 1980-an mekanisme yang mempromosikan sebuah distribusi pendapatan yang egaliter di daerah pedesaan, mungkin berjalan kurang efektif di bandingkan pada dekade 1975-1985.
Pengalaman dari tahun 1987-1999 menunjukan bahwa elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi menurun di Indonesia. Dengan kata lain, pertumbuhan yang cepat pada tahun 1987-1999 disertai dengan peningkatan ketidakmerataan, terutama di daerah perkotaan, dan peningkatan ketidakmerataan ini mengurangi dampak pertumbuhan pada penurunan tingkat kemiskinan.
Pada tahun 1996, 43% dari penduduk miskin berada di luar Jawa dan Bali. Lebih dari 20% berada di Kalimantan, Sulawesi dan kepulauan bagian timur (NTT, NTB, Timor Timur dan Maluku). Tampaknya masih banyak yang meragukan teori yang mengatakan bahwa sektor pertanian yang relative terbelakang ditambah lagi dengan kepemilikan tanah yang sempit merupakan faktor utama yang menyebabkan tingginya angka kemiskinan di daerah pedesaan.
Tidak bisa disangkal bahwa pada masa pemerintahan soeharto Indonesia mengalami penurunan dalam angka kemiskinan absolute dan ada kenaikan dalam indikator-indikator kesejahreaan lainnya seperti tingkat kematian bayi dan angka melek huruf. Studi comparative menunjukkan bahwa akhir tahun 1980-an tingkat kemiskinan di Indonesia berada di bawah Filipina, meskipun jauh di atas Thailand dan Malaysia (Booth, 1997; Ahuja et al., 1997; Mizoguchi dan Yoshida, 1998; dalam Booth, 2000). Tetapi penurunan angka kemiskinan relatif melambat. Angka kemiskinan relatif yang meningkat begitu tajam di beberapa kota-kota terbesar di Indonesia antara tahun 1987 dan 1996 pada saat rata-rata pendapatan dan pengeluaran konsumen juga meningkat dengan cepat setidaknya merupakan sebagian penjelasan
tentang adanya pertumbuhan sosial, ketegangan rasial dan agama yang menjadi lebih jelas bahkan sebelum dampak krisis keuangan menghantam Indonesia pada akhir tahun 1997.
Walaupun terjadi penurunan kemiskinan di Indonesia antara tahun 1976 – 1996, masalah kemiskinan relatif dan kekurangan masih serius pada tahun-tahun terakhir rezim Soeharto, bahkan sebelum dampak krisis keuangan dan penyusunan program berikutnya terhadap pendapatan nasional. Saat krisis moneter tahun 1997, peningkatan angka kemiskinan terbesar terjadi di perkotaan, dimana jumlah penduduk miskin di perkotaan dalam periode tersebut meningkat lebih dari 80%. Padahal, dalam periode yang sama, jumlahnya di perdesaan hanya naik sebesar 30%. Sebagai langkah antisipasi, pemerintah harus memberikan prioritas yang tinggi untuk program-program anti-kemiskinan.
Pada tahun 2002 – 2007, terdapat indikasi kuat bahwasanya meskipun terdapat kecenderungan positif dalam penanggulangan kemiskinan, tetapi ternyata implikasinya belum seperti yang diharapkan. Proporsi penduduk yang hamper miskin masih cukup tinggi, dan apabila terjadi sedikit 'gejolak', maka dengan sangat mudah mereka akan kembali menjadi miskin. Namun tidak dapat dipungkiri, kesenjangan dan disagregasi kemiskinan memang terjadi di Indonesia. Saat ini (tahun 2007) proporsinya mencapai 16.6%, tetapi ada anggapan bahwa dibalik angka ini sebetulnya terdapat fakta kesenjangan antar provinisi yang cukup besar.


Platform Kebijakan Pengentasan Kemiskinan ke Depan


Pertumbuhan versus distribusi pendapatan merupakan masalah yang menjadi perhatian di negara-negara sedang berkembang. Banyak negara sedang berkembang yang mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada tahun 1960-an mulai menyadari bahwa pertumbuhan yang tinggi hanya sedikit manfaatnya dalam memecahkan masalah kemiskinan. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dirasakan banyak orang tidak memberikan pemecahan masalah kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan ketika tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut diiringi dengan meningkatnya tingkat pengangguran dan pengangguran semu di daerah pedesaaan maupun perkotaan. Distribusi pendapatan antara kelompok kaya dengan kelompok miskin semakin senjang. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata telah gagal untuk menghilangkan atau bahkan mengurangi besarnya kemiskinan absolut di negara-negara sedang berkembang.
Keyakinan mengenai adanya efek menetes ke bawah (trickle down effects) dalam proses pembangunan telah menjadi pijakan bagi sejumlah pengambil kebijakan dalam pembangunan. Dengan keyakinan tersebut maka strategi pembangunan yang dilakukan akan lebih terfokus pada bagaimana mencapai suatu laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam suatu periode yang relatif singkat. Untuk mencapai tujuan tersebut, konsekuensi negatif yang dapat muncul sebagai akibat jalan pintas yang diambil berdasarkan pengalaman masa lalu adalah pusat pembangunan ekonomi nasional dan daerah selalu dimulai pada wilayah-wilayah yang telah memiliki infrastruktur lebih memadai, terutama Jawa. Selain itu pembangunan akan difokuskan pada sektor-sektor yang secara potensial memiliki kemampuan besar dalam menghasilkan nilai tambah yang tinggi terutama sektor industri dan jasa.
Kebijakan pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru memiliki kecenderungan yang mengarah pada penerapan Trickle Down Effects, namun dalam “persepsi yang keliru”. Pembangunan lebih difokuskan pada daerah-daerah perkotaan ketimbang di perdesaan dengan harapan dapat memberikan multiplayer effect bagi pembangunan berkelanjutan di bawahnya. Padahal pemahaman secara harfiah terhadap Trickle Down Effect bukan semata-mata pada “multiplayernya”, namun pada upaya “pemerataan kue pembangunan”. Kebijakan yang keliru ini diilustrasikan oleh Seda (2002), bahwa melalui pemberdayaan sektor swasta maka diharapkan/dianggap Ekonomi Rakyat akan pula dapat diberdayakan. Jika pembangunan selama ini adalah “top down” maka proses ini tidak langsung beralih ke sistim “bottom up”, namun melalui sistim (peng)antara “middle down” dan “middle up”. Namun kita tahu apa yang telah terjadi. Bukan proses “memberdayakan”, melainkan proses “memperdayakan”. “Up” dan “down” diperdayakan oleh si “middle”. Maka terjadilah krisis ekonomi yang berkelanjutan ini. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Sulekale (2003) yang mengatakan, bahwa penyebab kemiskinan di Indonesia bukanlah kurangnya sumber daya alam, melainkan karena faktor non-alamiah, yaitu kesalahan dalam kebijakan ekonomi. Khusus pada era Orde Baru, kelompok-kelompok usaha yang telah memiliki sistem manajemen modern dengan jaringan koneksi internasional yang sudah cukup baik dapat memanfaatkan situasi yang tercipta dengan lebih baik karena lebih siap secara teknis. Tugas yang diberikan kepada kelompok-kelompok usaha tersebut adalah memperbesar kue ekonomi yang kecil untuk kemudian dapat dilakukan pemerataan dalam pola trickle-down effect. Namun dalam perkembangannya, pertumbuhan untuk pemerataan tidak terjadi dengan mulus, bahkan kesenjangan sosial-ekonomi makin dirasakan melebar, dan akhirnya terjadi kerusuhan sosial yang memuncak pada tahun 1998.
Analisis yang didasarkan pada data kemiskinan tahun 1993 yang diterbitkan oleh BPS, dan hasil Sensus Pertanian tahun 1993, menunjukkan bahwa produktivitas pertanian per hektar dan ukuran kepemilikan lahan masih merupakan faktor yang menentukan timbulnya kemiskinan di pedesaan. Dari temuan ini dapat disimpulkan bahwa pembangunan harus lebih ditekankan pada sektor perdesaan dan pertanian jika angka kemiskinan ingin dikurangi di Indonesia. Bagaimanapun, program-program pembangunan di perdesaan seharusnya tidak difokuskan pada bahan pangan saja seperti program-program tahun-tahun sebelumnya, tetapi harus ditargetkan untuk memenuhi kebutuhan khusus masyarakat miskin di daerah-daerah miskin. Program-program pembangunan perdesaan yang lebih efektif juga akan membantu dalam membatasi tingkat kemiskinan di perkotaan.
Menurut Human Development Report 1995, yang dikeluarkan oleh UNDP, sebesar 1,3 miliar penduduk di negara berkembang hidup dalam kemiskinan, dan hampir 800 juta di antaranya tidak menderita kurang pangan. Banyak pihak menganggap bahwa Bank Dunia secara langsung telah menjadi penyebab utama meningkatnya kesenjangan dan ketimpangan sosial di suatu negara dan antar negara, atau dapat dikatakan bahwa Bank Dunia telah gagal melakukan usaha-usaha pengentasan kemiskinan melalui program dan kebijakan pemberian bantuan. Banyak prakarsa Bank Dunia mengenai kemiskinan baru-baru ini mengarah kepada gejala kemiskinan ketimbang mengarah kepada akar strukturalnya. Jika dikaitkan dengan upaya meningkatkan PDB/PNB per kapita (Gie, 2009), ternyata angka ini tidak juga bisa menjelaskan apa-apa tentang keadilan dalam pembagiannya. Karena itu pemerintah harus mengembangkan indikator baru yang memperlihatkan keadilan dalam pembagian PDB/PNB pada seluruh kelompok masyarakat.
Upaya untuk menurunkan disparitas distribusi pendapatan selalu menunjukkan tren perlambatan. Garcia dan Soelistianingsih (1998) yang mendapatkan fakta bahwa antara 1975-1993 tendensi penurunan disparitas sempat terhenti pada 1983. Wibisono (2003) menemukan bahwa penurunan disparitas yang cepat terjadi pada pertengahan 1970-an hingga 1980-an. Setelah itu penurunan disparitas mengalami perlambatan pada pertengahan 1980-an hingga 1990-an. Hal yang sedikit berbeda dikemukakan oleh Akita dan Lukman (1995) menemukan bahwa disparitas PDRB per kapita mengalami penurunan yang kontinu antara 1975-1992. Studi empirik disparitas pendapatan regional yang diukur dengan indeks Gini menunjukkan pengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi regional.
Masalah kemiskinan bukanlah sekedar masalah yang dapat dipecahkan oleh para ekonom, tetapi harus dipecahkan secara
multidisipliner/interdisipliner oleh para ahli, karena bersifat multi-dimensional, dan dimensi-dimensi kemiskinan tersebut saling mengkait antara satu dengan yang lain. Lebih lanjut dikatakan, bahwa pemecahan masalah kemiskinan seperti halnya masalah distribusi pendapatan, tidak dapat dilakukan melalui sistem mekanisme pasar. Oleh karena itu peranan pemerintah dituntut lebih banyak. Selain itu dukungan organisasi-organisasi sosial seperti LSM-LSM sangat dibutuhkan. Dengan kata lain masalah ini harus menjadi concern kita bersama, kalau memang tujuan akhir pembangunan kita adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tidak hanya faktor-faktor ekonomi yang diperhatikan, tetapi faktor-faktor non ekonomipun tidak boleh luput dari perhatian, karena kenyataannya faktor-faktor non-ekonomi telah memberikan sumbangan besar bagi keberhasilan program ekonomi. Inilah ekonomi kelembagaan (institutional economics) ajaran ekonomi John R. Commons yang lebih menekankan kerjasama (cooperation) dan tindakan bersama (collective action) dalam pemecahan masalah pertarungan kepentingan-kepentingan ekonomi (conflict of interest) ketimbang persaingan (competition). Suatu masyarakat kecil seperti masyarakat Yogyakarta yang ”budaya”nya relatif tinggi termasuk budaya gotong-royongnya, dapat menciptakan suasana mendukung (conducive) bagi program-program pembangunan masyarakat terutama program-program penanggulangan kemiskinan.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Daerah, peran Pemerintah Daerah dalam membangun daerah menjadi titik sentral dan menjadi sangat besar, karena daerah telah diberikan kewenangan untuk mengatur otonominya sendiri agar mampu mandiri. Ini merupakan perubahan besar dalam sejarah tata pemerintahan. Kunci utama dari upaya penanggulangan kemiskinan di daerah adalah terbangunnya, serta melembaganya jaringan komunikasi, koordinasi dan kerjasama dari tiga pilar yang ada di daerah: Pemda, Masyarakat dan kelompok peduli (LSM, swasta, perguruan tinggi, ulama/tokoh masyarakat, dan pers). Permasalahan kemiskinan hanya dapat ditanggulangi jika tiga komponen di atas saling bekerjasama dalam semangat kebersamaan, dan berpartisipasi mencari alternatif pemecahan masalah.
Upaya penanggulangan kemiskinan yang paling strategis dalam era otonomi daerah dapat dirumuskan dalam satu kalimat yaitu “berikan peluang kepada keluarga miskin dan komunitasnya untuk mengatasi masalah mereka secara mandiri” (Sulekale, 2003). Ini berarti pihak luar harus mereposisi peran mereka, dari agen pemberdayaan menjadi fasilitator pemberdayaan. Input yang berasal dari luar yang masuk dalam proses pemberdayaan harus mengacu sepenuhnya pada kebutuhan dan desain aksi yang dibuat oleh keluarga miskin itu sendiri bersama
komunitasnya melalui proses dialog yang produktif agar sesuai dengan konteks setempat. Upaya-upaya menyeragamkan penanggulangan kemiskinan menurut model tertentu hanya akan menemukan kemungkinan yang lebih besar untuk gagal dalam mencapai sasarannya. Hal-hal yang perlu ditinggalkan oleh para pembuat kebijakan adalah melakukan kontrol yang mematikan inisiatif maupun partisipasi penduduk miskin.
Kebijakan-kebijakan yang mengarah pada kestabilan makro ekonomi perlu dikaji secermat mungkin agar fundamental perekonomian tidak mudah goyah terhadap berbagai goncangan. Munandar et al, (2007), menemukan bahwa kebijakan moneter yang berhati-hati (prudent), yaitu kebijakan moneter yang diarahkan pada tercapainya inflasi yang rendah dan kondisi ekonomi makro yang stabil secara berkesinambungan, merupakan kebijakan yang secara relatif lebih menguntungkan provinsi-provinsi kurang maju. Selanjutnya karena tingkat kemiskinan yang tinggi cenderung ditemukan di berbagai wilayah yang kurang maju tersebut, kebijakan moneter yang prudent tampaknya merupakan kebijakan moneter yang berpihak pada golongan miskin (pro poor).
Pengalaman telah membuktikan bahwa akibat kebijakan makro ekonomi Indonesia yang salah sebelum terjadinya krisis telah membawa dampak sangat buruk bagi perekonomian bangsa. Bukan kebetulan jika Indonesia setuju dengan kebijakan-kebijakan yang begitu membebani rakyatnya. Utang menggunung yang didatangkan untuk menimbun kekayaan elit negara membuat pemerintah tidak ada pilihan lagi. Utang luar negeri Indonesia terus menduduki tingkat tertinggi di antara negara Asia lainnya. Sudah jelas “kami” membebani utang yang begitu mencengangkan hingga negara ini tidak mampu melunasi. Maka Indonesia dipaksa menebus utang dengan memuaskan hasrat korporasi “kami”. Dengan begitu tujuan “kami” para “bandit ekonomi” tercapai.
Adalah kepentingan para elit ekonomi, termasuk penerima BLBI untuk mengesankan bahwa krisis ekonomi masih terus berjalan, dan makin parah, agar pemerintah tetap tidak dapat bersikap keras pada mereka untuk membayar utang-utang besar yang macet sejak awal krismon. Utang-utang besar yang macet menjadi amat berat karena banyak utang dalam bentuk valuta asing yang tidak dijamin sehingga jika ekonomi Indonesia sudah dianggap pulih dari kondisi krisis, mereka para pengutang akan kehilangan alasan untuk tidak membayarnya. Inilah alasan “tersembunyi” untuk terus memojokkan pemerintah yang sayangnya memperoleh dukungan pakar-pakar ekonomi makro yang tidak pernah meninggalkan meja komputernya dan tidak pernah mau menerapkan metode analisis induktif-empirik dengan cara datang ke
daerah-daerah meneliti kehidupan ekonomi riil (real-life economics). Mereka membesar-besarkan dampak krisis dengan menyebutkan pengangguran yang mencapai 40 juta orang, pelarian modal asing US$ 10 milyar per tahun dan lain-lain.
Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kependudukan UGM bekerjasama dengan RAND Corporation Santa Monica dengan melakukan Survei Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (SAKERTI) di 13 propinsi, menunjukkan bahwa krisis moneter 1997 tidak berdampak buruk terhadap perekonomian masyarakat perdesaan. Kenyataan ini telah menenggelamkan pendapat yang lebih condong ke “dampak yang parah” dengan harapan supaya tidak menghambat peluncuran program-program JPS (Jaring Pengaman Sosial), lebih-lebih yang dananya berasal dari bantuan luar negeri. Program-program JPS adalah program untuk menolong penduduk miskin yang sedang dalam kesusahan, sehingga tidaklah dianggap bijaksana menyebarluaskan penemuan kajian-kajian yang menyimpulkan dampak krismon tidak parah. Peneliti-peneliti Indonesia yang jujur, terpaksa mengendalikan diri melaporkan kenyataan dari lapangan “demi kemanusiaan”. Namun kemudian mereka merasa terpukul membaca komentar penerima hadiah Nobel di bidang ekonomi tahun 1998, Amartya Sen yang menyindir mereka yang telah membesar-besarkan dampak krisis moneter di Asia Timur.
Pemberdayaan ekonomi rakyat menjadi suatu upaya yang mutlak harus dilakukan. Kemampuan “tahan banting” terhadap krisis telah terbukti. Mengingat relatif sulitnya mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi yang diharapkan dari investasi usaha-usaha besar maka pemerintah daerah diharapkan untuk lebih memberdayakan ekonomi rakyat yang merupakan potensi yang tersembunyi (hidden potential) termasuk di dalamnya UKM dan sektor informal untuk mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan. Sektor ekonomi rakyat telah terbukti mampu bertahan di saat krisis, oleh karena itu pemerintah jangan menganggap remeh akan keberadaan sektor ekonomi rakyat, tapi justru harus diberdayakan sebagai salah satu penyangga perekonomian nasional Hariadi et al, (2007). Diharapkan sekali kearifan pemerintah agar lebih memperhatikan dan lebih rajin turun melihat kehidupan masyarakat di pedesaan . Jika memang belum dapat dilakukan kebijakan yang mendukung ekonomi rakyat, atau juga masih kesulitan untuk membuat kebijakan yang netral terhadap ekonomi rakyat, minimal jangan buat kebijakan yang merugikan ekonomi rakyat, atau jangan buat kebijakan apapun, biarkan ekonomi rakyat berkembang dengan kemampuannya sendiri. Yakinlah, rakyat Indonesia mampu melakukan hal itu.

Kamis, 31 Maret 2011

AKU CINTA PRODUK INDONESIADari Harian Seputar Indonesia, 16 Desember 2007 PENGUASAAN ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di Indonesia memang masih dinilai rendah. Sebab, iptek di sini masih seperti barang mahal. Anggaran negara sampai sekarang masih diprioritaskan untuk ekonomi. Padahal, globalisasi sudah bergulir deras. Karena itu, tak ada kata lain selain harus mengikuti arus globalisasi. Namun, apakah globalisasi harus mengorbankan jati diri bangsa dan memberangus nilai-nilai kearifan lokal? Berikut pandangan Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) Kusmayanto Kadiman tentang tantangan globalisasi. Bagaimana kondisi iptek terkini? Kalau kita mau merunut ke belakang, yaitu pada zaman renaissance (kebangkitan) itu sama sekali bukan karena iptek yang mendorong kebangkitan tersebut.Yang mendorong renaissance adalah budaya dan perut.Sebab, orang-orang sudah capek saat hidup dalam era kegelapan dan mereka sengsara sehingga ingin keluar dari zaman itu. Begitu melakukan revolusi budaya, mereka menempatkan iptek sebagai bagian dari budaya. Jadi, jika dilihat pre-renaissance, iptek belum bunyi di Eropa. Namun, post renaissance antara budaya dan iptek tak lagi terpisahkan, mana yang budaya dan mana yang iptek. Baik itu di Belanda, Jerman, Inggris, maupun Prancis, sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan. Kondisi kita sama seperti prerenaissance? Betul Apa yang bisa dilakukan? Kalau menurut saya, ayo kita kembali kepada apa yang kita punya, kemudian apa-apa yang bagus dari sana kita pakai. Contoh yang paling sederhana, kita silau dengan istilah inovasi. Sepertinya, kalau mendengar kata inovasi itu segalanya. Ternyata, inovasi sebetulnya merupakan rentetan dari yang kita mengerti, menirukan, kemudian kita beri nilai tambah. Apabila kembali pada rumus Ki Hajar Dewantara, tidak lain adalah niteni, niroeake, dan nambahake. Sederhana rumusnya, tapi sebenarnya ini sebuah konsep yang kompleks. Itu kalau saya gunakan kata-kata yang bombastis, bagaimana kita menyikapi globalisasi sambil kita melakukan fortifikasi (pembentengan). Dua-duanya sama penting.Kita sudah paham globalisasi sudah tidak bisa ditahan. Namun, jangan lupa, fortifikasi harus dilakukan. Itulah bagaimana globalisasi ini kita sikapi secara simultan dengan melakukan fortifikasi. Contoh sederhananya? Nah, kalau kita bicara produk, pembentengan itu apa? Menumbuhkan budaya aku cinta produk dalam negeri. Aku cinta produk Indonesia itu bukan hanya di bibir. Jadi, kalau membeli barang, dilihat dulu apakah made in Indonesia atau tidak? Boleh saja lisensi teknologi dari luar, tapi ada kata made in Indonesia dan saya akan bangga. Namun, di masyarakat kita apa yang terjadi? Begitu ada produk Indonesia, kita enggak jadi beli. Bukan hanya di Indonesia, ketika masyarakat berada di luar negeri, hal itu juga terjadi, misalnya dia (warga negara Indonesia) pilih baju di Carrefour, Prancis, lalu suka warna, bahan, dan harganya juga bagus. Begitu dibuka plastiknya, ada tulisan made in Indonesia. Lalu, dia enggak jadi beli. Alasannya, apa kata orang? Katanya jalan-jalan ke Paris, tapi baju yang dibeli made in Indonesia. Itu merupakan pola pikir yang salah. Seharusnya, dia bergeser, menjadikan itu sebagai kebanggaan, yaitu oleh-oleh dari Carrefour di Prancis buatan Indonesia. Betapa bangganya produk Indonesia menjadi kelas dunia. Itu contohnya, dijual di Paris saat bayar ke kasir memberi tahu kasirnya bahwa alasan membeli baju tersebut karena merupakan produk Indonesia. Jadi, kita harus bergeser dari perangkap yang kita bikin sendiri. Sekarang ini, kita berada di zaman di mana kita bahagia memerangkapkan diri ke perangkap yang kita bikin. Keledai pun tidak seburuk itu kan? Katak dalam tempurung pun tidak seburuk itu karena tempurungnya bukan buatan dia. Begitulah kita orang Indonesia memperlakukan iptek. Aku cinta produk Indonesia hanya akan ada di bibir. Kalau mencari kesalahan, kita jagonya. Sementara itu, untuk memuji keberhasilan kawan, kita agak lemah di situ. Butuh langkah apa untuk melewati masa transisi? Mestinya mulailah dari yang kecil, mulai dari sekarang dan diri sendiri, ini merupakan pernyataan Aa Gym yang sangat bagus. Hanya itu kuncinya! Kita selalu terlena dengan pernyataan tunggu pimpinan kita yang hebat. Loh kok masih menunggu? Bukankah setiap orang merupakan pemimpin. Minimum pemimpin untuk diri sendiri kalau dia enggak bisa bagaimana memimpin keluarga, desa, atau negaranya. Itu saja kuncinya. Jadi, konsep besarnya adalah harmonisasi globalisasi dengan fortifikasi. Kemudian diturunkan menjadi langkah konkret, misalnya Gabungan Pengusaha Jamu memiliki pasar yang lebih besar. Sekarang sudah mulai ada tanda-tandanya. Dulu yang namanya masuk angin itu konotasinya jika Anda datang ke dokter, hanya akan ditertawakan. Dia enggak mengerti karena di sekolahnya tidak diajarkan masuk angin. Padahal, semua orang dari berbagai generasi mengalami masuk angin setiap hari. Kita harus mencarikan solusinya perut kembung, kepala pusing, badan meriang, kita carikan entah minum jahe, temu lawak, atau daun pegagan, kan sudah ada secara tradisional. Namun, sekarang apa yang kita lakukan sangat bertolak belakang. Kalau pusing, kita mencari paracetamol atau aspirin. Akibatnya, karena ulah kita itu, porsi obat tradisional terpinggirkan. Dari 100 unit obat di Indonesia, coba tengok berapa persen yang dikategorikan sebagai jamu dan berapa persen nonjamu? Anda enggak akan kaget kalau angka perbandingannya 9:1. Sedihnya, duitnya pasti pergi. Sedih kan? Kita boroskan uang, tapi menguntungkan orang lain. Jadi, melulu kita hanya kena dampak negatif dari globalisasi. Itu salah satu contohnya. Nah, sekarang bagaimana untuk pembentengan? Indikator yang paling gampang dari 9:1 menjadi 9:2,7:3, 6:4,atau 5:5 dan seterusnya. Mari kita lihat, kenapa obat bisa masuk ke masyarakat secara teknoekonomi dan sosiobudaya. Jadi, ada empat ukuran,yaitu teknologi,ekonomi, sosial,dan budaya. Mari kita lihat jamu,secara teknoekonomi, apa kurangnya dia? Kalau murah enggak takut. Jamu memang murah, tapi teknologinya masih kurang. Habis jamu kampungan sih, kemasannya enggak bagus, cepat rusak. Maka itu, sekarang muncul obat masuk angin. Kalau selama ini hanya produsen jamu dan obat tradisional yang memiliki khasiat untuk mengobati masuk angin, kini perusahaan besar pun mulai memproduksinya. Artinya, sudah ada pengakuan bahwa penyakit masuk angin itu ada, contohnya grup Kalbe Farma sudah membuat ’’Bintangin”. Lebih hebat lagi nanti kalau Bayer atau Roche juga bikin ini. Hal tersebut hanya masalah waktu. Sebab, pangsa pasarnya begitu besar. Begitu juga produk-produk yang dihasilkan Mustika Ratu,Martha Tilaar, dan obat kecantikan mulai ditengok. Loreal mulai melirik pemutih dengan bengkuang. Itu masalah teknologi dan pengemasan dari segi teknoekonomi. Yang berat adalah masalah sosio budaya. Orang-orang kita tergiur kalau yang mengiklankan orang bule. Begitu juga dengan produk-produk yang lain, misalnya sistem persenjataan. Kita kan tergiur dengan panser buatan Prancis, tank buatan Amerika Serikat (AS), senjata AS dan Rusia, AK47, M16, dan lain-lain. Kenapa sih mesti tergiur dengan produksi mereka? Sudah mahal, risikonya juga tinggi. Begitu kita diembargo, kita enggak punya apa-apa. Punya senjatanya, tapi tidak bisa digunakan karena enggak ada peluru dan spare part-nya, lumpuhlah kita. Ayo kita keluar dari perangkap itu, kita kasih nama sendiri lalu bangga dengan produk Indonesia. Seberapa besar potensi teknologi pertahanan dan keamanan? Prinsip saya, kalau negara lain bisa,kita pasti bisa.Ya buktinya sekarang, kita sudah punya padanaannya AK47 dan M16, yakni senapan serbu (SS)1 dan SS2. Ternyata, kalau tentara kita pakai SS, juara di mana-mana saat pertandingan, misalnya pertandingan Angkatan Darat di Australia dan Thailand. Di sana, Indonesia juara dengan senapan yang dibikin sendiri. Cocok untuk postur Indonesia. Tinggi orang Indonesia berapa dan beratnya berapa? Suruh bawa ransel buatan Amerika ya bisa bawa, enggak bisa jalan. Itu yang saya maksud fortifikasi. Memang mereka (negara asing) bisa bikin, tapi biaya produksinya menjadi lebih tinggi karena harus melakukan penyesuaian dengan kebutuhan orang Indonesia. Mereka perlu riset dulu dan lainlain. Lah kita enggak perlu riset, semua ada di tangan kita. Bangsa ini sudah mulai mengembangkan teknologi pertahanan sejak zaman Pak Habibie,sekali lagi pada waktu itu kita selalu terlena. Satu, kita terlambat membangunnya. Kedua, terlena dengan utang. Utang ini sepertinya murah, tapi kemudian apa implikasinya harus membeli produk dari negara pemberi utang. Jadi, utang itu bagaikan perumpamaan, badan saya dekil nih pengin mandi, oke dikasih ember, air sudah bersih, tapi ember sama airnya nanti dibawa lagi dan mesti bayar. Nanti lima hari lagi, enggak enak lagi, butuh mandi lagi dan bayar lagi. Begitu terus karena kita kecanduan dan ketergantungan. Padahal, kita punya air, masak sih enggak bisa bikin ember? Kita harus mulai produk yang kita cari, contohnya SS2 yang kita kembangkan dari SS1. Sekarang sudah bisa untuk pelontar granat. Kita juga punya teropong mini malam. Ini perjuangan yang panjang. Jangan hanya bisa bikin, tapi enggak bisa jual. Itu juga penting dengan segala macam cara. Contoh kemarin, kenapa kita begitu terpesona dengan Skytruck buatan Polandia? Kita hitung perbandingannya, kita bisa bikin. Namun, karena mendapatkan pinjaman dari mereka, akhirnya dilirik juga. Kalau masalah itu, saya pun enggak mau bilang apa-apa. Ya sudah… Berapa persentase belanja pertahanan memanfaatkan teknologi lokal? Saya kira pertumbuhannya bagus. Pada 2005, itu masih singel digit, pada 2006 sudah masuk dua digit, mulai amunisi hingga seragam, kan enggak lucu kalau harus impor semua. Salah satunya seragam yang mesti impor. Padahal, produksi kapasnya dari Indonesia semua. Jadi,tidak hanya obat dan militer, termasuk yang lain-lain juga begitu. Peran perbankan? Itu banyak sebabnya, dulu memang ada aturan yang menyatakan tidak boleh mendukung industri militer. Namun sekali lagi, peraturan itu kita yang bikin, kok enggak boleh ya? (foto : humasristek)

Dari Harian Seputar Indonesia, 16 Desember 2007
PENGUASAAN ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di Indonesia memang masih dinilai rendah. Sebab, iptek di sini masih seperti barang mahal. Anggaran negara sampai sekarang masih diprioritaskan untuk ekonomi.
Padahal, globalisasi sudah bergulir deras. Karena itu, tak ada kata lain selain harus mengikuti arus globalisasi. Namun, apakah globalisasi harus mengorbankan jati diri bangsa dan memberangus nilai-nilai kearifan lokal? Berikut pandangan Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) Kusmayanto Kadiman tentang tantangan globalisasi.
Bagaimana kondisi iptek terkini?
Kalau kita mau merunut ke belakang, yaitu pada zaman renaissance (kebangkitan) itu sama sekali bukan karena iptek yang mendorong kebangkitan tersebut.Yang mendorong renaissance adalah budaya dan perut.Sebab, orang-orang sudah capek saat hidup dalam era kegelapan dan mereka sengsara sehingga ingin keluar dari zaman itu.
Begitu melakukan revolusi budaya, mereka menempatkan iptek sebagai bagian dari budaya. Jadi, jika dilihat pre-renaissance, iptek belum bunyi di Eropa. Namun, post renaissance antara budaya dan iptek tak lagi terpisahkan, mana yang budaya dan mana yang iptek. Baik itu di Belanda, Jerman, Inggris, maupun Prancis, sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan.
Kondisi kita sama seperti prerenaissance?
Betul
Apa yang bisa dilakukan?
Kalau menurut saya, ayo kita kembali kepada apa yang kita punya, kemudian apa-apa yang bagus dari sana kita pakai. Contoh yang paling sederhana, kita silau dengan istilah inovasi. Sepertinya, kalau mendengar kata inovasi itu segalanya.
Ternyata, inovasi sebetulnya merupakan rentetan dari yang kita mengerti, menirukan, kemudian kita beri nilai tambah. Apabila kembali pada rumus Ki Hajar Dewantara, tidak lain adalah niteni, niroeake, dan nambahake. Sederhana rumusnya, tapi sebenarnya ini sebuah konsep yang kompleks.
Itu kalau saya gunakan kata-kata yang bombastis, bagaimana kita menyikapi globalisasi sambil kita melakukan fortifikasi (pembentengan). Dua-duanya sama penting.Kita sudah paham globalisasi sudah tidak bisa ditahan. Namun, jangan lupa, fortifikasi harus dilakukan. Itulah bagaimana globalisasi ini kita sikapi secara simultan dengan melakukan fortifikasi.
Contoh sederhananya?
Nah, kalau kita bicara produk, pembentengan itu apa? Menumbuhkan budaya aku cinta produk dalam negeri. Aku cinta produk Indonesia itu bukan hanya di bibir. Jadi, kalau membeli barang, dilihat dulu apakah made in Indonesia atau tidak? Boleh saja lisensi teknologi dari luar, tapi ada kata made in Indonesia dan saya akan bangga. Namun, di masyarakat kita apa yang terjadi?
Begitu ada produk Indonesia, kita enggak jadi beli. Bukan hanya di Indonesia, ketika masyarakat berada di luar negeri, hal itu juga terjadi, misalnya dia (warga negara Indonesia) pilih baju di Carrefour, Prancis, lalu suka warna, bahan, dan harganya juga bagus. Begitu dibuka plastiknya, ada tulisan made in Indonesia. Lalu, dia enggak jadi beli. Alasannya, apa kata orang?
Katanya jalan-jalan ke Paris, tapi baju yang dibeli made in Indonesia. Itu merupakan pola pikir yang salah. Seharusnya, dia bergeser, menjadikan itu sebagai kebanggaan, yaitu oleh-oleh dari Carrefour di Prancis buatan Indonesia. Betapa bangganya produk Indonesia menjadi kelas dunia.
Itu contohnya, dijual di Paris saat bayar ke kasir memberi tahu kasirnya bahwa alasan membeli baju tersebut karena merupakan produk Indonesia. Jadi, kita harus bergeser dari perangkap yang kita bikin sendiri. Sekarang ini, kita berada di zaman di mana kita bahagia memerangkapkan diri ke perangkap yang kita bikin.
Keledai pun tidak seburuk itu kan? Katak dalam tempurung pun tidak seburuk itu karena tempurungnya bukan buatan dia. Begitulah kita orang Indonesia memperlakukan iptek. Aku cinta produk Indonesia hanya akan ada di bibir. Kalau mencari kesalahan, kita jagonya. Sementara itu, untuk memuji keberhasilan kawan, kita agak lemah di situ.
Butuh langkah apa untuk melewati masa transisi?
Mestinya mulailah dari yang kecil, mulai dari sekarang dan diri sendiri, ini merupakan pernyataan Aa Gym yang sangat bagus. Hanya itu kuncinya! Kita selalu terlena dengan pernyataan tunggu pimpinan kita yang hebat. Loh kok masih menunggu? Bukankah setiap orang merupakan pemimpin.
Minimum pemimpin untuk diri sendiri kalau dia enggak bisa bagaimana memimpin keluarga, desa, atau negaranya. Itu saja kuncinya. Jadi, konsep besarnya adalah harmonisasi globalisasi dengan fortifikasi. Kemudian diturunkan menjadi langkah konkret, misalnya Gabungan Pengusaha Jamu memiliki pasar yang lebih besar. Sekarang sudah mulai ada tanda-tandanya.
Dulu yang namanya masuk angin itu konotasinya jika Anda datang ke dokter, hanya akan ditertawakan. Dia enggak mengerti karena di sekolahnya tidak diajarkan masuk angin. Padahal, semua orang dari berbagai generasi mengalami masuk angin setiap hari. Kita harus mencarikan solusinya perut kembung, kepala pusing, badan meriang, kita carikan entah minum jahe, temu lawak, atau daun pegagan, kan sudah ada secara tradisional.
Namun, sekarang apa yang kita lakukan sangat bertolak belakang. Kalau pusing, kita mencari paracetamol atau aspirin. Akibatnya, karena ulah kita itu, porsi obat tradisional terpinggirkan. Dari 100 unit obat di Indonesia, coba tengok berapa persen yang dikategorikan sebagai jamu dan berapa persen nonjamu? Anda enggak akan kaget kalau angka perbandingannya 9:1.
Sedihnya, duitnya pasti pergi. Sedih kan? Kita boroskan uang, tapi menguntungkan orang lain. Jadi, melulu kita hanya kena dampak negatif dari globalisasi. Itu salah satu contohnya. Nah, sekarang bagaimana untuk pembentengan? Indikator yang paling gampang dari 9:1 menjadi 9:2,7:3, 6:4,atau 5:5 dan seterusnya. Mari kita lihat, kenapa obat bisa masuk ke masyarakat secara teknoekonomi dan sosiobudaya.
Jadi, ada empat ukuran,yaitu teknologi,ekonomi, sosial,dan budaya. Mari kita lihat jamu,secara teknoekonomi, apa kurangnya dia? Kalau murah enggak takut. Jamu memang murah, tapi teknologinya masih kurang. Habis jamu kampungan sih, kemasannya enggak bagus, cepat rusak. Maka itu, sekarang muncul obat masuk angin.
Kalau selama ini hanya produsen jamu dan obat tradisional yang memiliki khasiat untuk mengobati masuk angin, kini perusahaan besar pun mulai memproduksinya. Artinya, sudah ada pengakuan bahwa penyakit masuk angin itu ada, contohnya grup Kalbe Farma sudah membuat ’’Bintangin”.
Lebih hebat lagi nanti kalau Bayer atau Roche juga bikin ini. Hal tersebut hanya masalah waktu. Sebab, pangsa pasarnya begitu besar. Begitu juga produk-produk yang dihasilkan Mustika Ratu,Martha Tilaar, dan obat kecantikan mulai ditengok. Loreal mulai melirik pemutih dengan bengkuang. Itu masalah teknologi dan pengemasan dari segi teknoekonomi.
Yang berat adalah masalah sosio budaya. Orang-orang kita tergiur kalau yang mengiklankan orang bule. Begitu juga dengan produk-produk yang lain, misalnya sistem persenjataan. Kita kan tergiur dengan panser buatan Prancis, tank buatan Amerika Serikat (AS), senjata AS dan Rusia, AK47, M16, dan lain-lain. Kenapa sih mesti tergiur dengan produksi mereka?
Sudah mahal, risikonya juga tinggi. Begitu kita diembargo, kita enggak punya apa-apa. Punya senjatanya, tapi tidak bisa digunakan karena enggak ada peluru dan spare part-nya, lumpuhlah kita. Ayo kita keluar dari perangkap itu, kita kasih nama sendiri lalu bangga dengan produk Indonesia.
Seberapa besar potensi teknologi pertahanan dan keamanan?
Prinsip saya, kalau negara lain bisa,kita pasti bisa.Ya buktinya sekarang, kita sudah punya padanaannya AK47 dan M16, yakni senapan serbu (SS)1 dan SS2. Ternyata, kalau tentara kita pakai SS, juara di mana-mana saat pertandingan, misalnya pertandingan Angkatan Darat di Australia dan Thailand. Di sana, Indonesia juara dengan senapan yang dibikin sendiri.
Cocok untuk postur Indonesia. Tinggi orang Indonesia berapa dan beratnya berapa? Suruh bawa ransel buatan Amerika ya bisa bawa, enggak bisa jalan. Itu yang saya maksud fortifikasi. Memang mereka (negara asing) bisa bikin, tapi biaya produksinya menjadi lebih tinggi karena harus melakukan penyesuaian dengan kebutuhan orang Indonesia.
Mereka perlu riset dulu dan lainlain. Lah kita enggak perlu riset, semua ada di tangan kita. Bangsa ini sudah mulai mengembangkan teknologi pertahanan sejak zaman Pak Habibie,sekali lagi pada waktu itu kita selalu terlena. Satu, kita terlambat membangunnya. Kedua, terlena dengan utang. Utang ini sepertinya murah, tapi kemudian apa implikasinya harus membeli produk dari negara pemberi utang.
Jadi, utang itu bagaikan perumpamaan, badan saya dekil nih pengin mandi, oke dikasih ember, air sudah bersih, tapi ember sama airnya nanti dibawa lagi dan mesti bayar. Nanti lima hari lagi, enggak enak lagi, butuh mandi lagi dan bayar lagi. Begitu terus karena kita kecanduan dan ketergantungan. Padahal, kita punya air, masak sih enggak bisa bikin ember?
Kita harus mulai produk yang kita cari, contohnya SS2 yang kita kembangkan dari SS1. Sekarang sudah bisa untuk pelontar granat. Kita juga punya teropong mini malam. Ini perjuangan yang panjang. Jangan hanya bisa bikin, tapi enggak bisa jual. Itu juga penting dengan segala macam cara.
Contoh kemarin, kenapa kita begitu terpesona dengan Skytruck buatan Polandia? Kita hitung perbandingannya, kita bisa bikin. Namun, karena mendapatkan pinjaman dari mereka, akhirnya dilirik juga. Kalau masalah itu, saya pun enggak mau bilang apa-apa. Ya sudah…
Berapa persentase belanja pertahanan memanfaatkan teknologi lokal?
Saya kira pertumbuhannya bagus. Pada 2005, itu masih singel digit, pada 2006 sudah masuk dua digit, mulai amunisi hingga seragam, kan enggak lucu kalau harus impor semua. Salah satunya seragam yang mesti impor. Padahal, produksi kapasnya dari Indonesia semua. Jadi,tidak hanya obat dan militer, termasuk yang lain-lain juga begitu.
Peran perbankan?
Itu banyak sebabnya, dulu memang ada aturan yang menyatakan tidak boleh mendukung industri militer. Namun sekali lagi, peraturan itu kita yang bikin, kok enggak boleh ya? (foto : humasristek)

Kamis, 06 Januari 2011

FUNGSI - FUNGSI MANAJEMEN

FUNGSI-FUNGSI MANAGEMENT

Empat fungsi management yaitu, Perencanaan (Planning), Pengorganisasian (Organizing), Penggerakan (Actuating), dan Pengawasan (Controlling) yang biasa disebut P.O.A.C.

A.  PERENCANAAN (PLANNING)
I.        Pengertian Perencanaan dan Rencana
Perencanaan adalah  kumpulan keputusan-keputusan dan juga merupakan suatu proses untuk menentukan rencana. Perencanaan diproses oleh seorang perencana, hasilnya disebut sebagai rencana, rencana adalah suatu dasar pengendalian, sehingga tanpa sebuah rencana suatu pengendalian tidak mungkin dapat dilakukan.


II.        PRINSIP – PRINSIP PERENCANAAN
Ada beberapa prinsip perencanaan, antara lain :
Ø Prinsip perubahan sasaran / tujuan
Ø Prinsip efisiensi perencanaan
Ø Prinsip pengutamaan perencanaan
Ø Prinsip pemerataan perencanaan
Ø Prinsip batas perencanaan
Ø Prinsip kebijakan rangka / pola kerja
Ø Prinsip waktu
Ø Prinsip tata hubungan perencanaan
Ø Prinsip alternatif – alternatif
Ø Prinsip pembatasan faktor
Ø Prinsip keterikatan
Ø Prinsip fleksibilitas
Ø Prinsip ketetapan arah
Ø Prinsip perencanaan strategi

III.     JENIS PERENCANAAN

Ada delapan jenis perencanaan yaitu :
·        Sasaran
·        Kebijaksanaan
·        Prosedur
·        Peraturan / ketetapan
·        Program
·        Anggaran
·        Strategi
·        Metode

B.   PENGORGANISASIAN (ORGANIZING)
1.    Pengertian Pengorganisasian
Pengorganisasian (organizing ) secara singkat dapat disebutkan sebagai kegiatan penentuan dan pembagian kerja pada suatu organisasi, termasuk di dalamnya penentuan dan pengaturan mengenai bagian - bagian pekerjaan dan hubungan antar manusia pelaksananya.
Secara lebih luas, pengorganisasian dapat disebutkan sebagai proses penentuan, pengelompokan dan pengaturan berbagai aktivitas yang diperlukan untuk mencapai tujuan menempatkan orang – orang pada setiap aktivitas tersebut, menyediakan alat perlengkapan yang diperlukan dan menetapkan batas wewenang kepada setiap orang, sehingga mereka dapat bekerja sama secara efektif dan efisien.

2.   JENIS –JENIS ORGANISASI
Ø Organisasi Lini
Ø Organisasi Lini dan Staf
Ø Organisasi fungsional
Ø Organisasi Lini, Staf dan fungsional

C.   PENGGERAKAN ( ACTUATING)
1.    Pengertian Penggerakan
Penggerakan adalah suatu usaha atau tindakan semua anggota kelompok untuk mencapai sasaran- sasaran sesuai dengan perncenaan dan usaha – usaha organisasi.

D.  PENGAWASAN ( CONTROLLING)
1.    Pengertian Pengawasan
Pengawasan adalah pelaksanaan, penilaian dan perbaikan berbagai faktor dalam suatu perusahaan sesuai dengan ketetapan – ketetapan rencana.
2.   Tujuan pengawasan
Tujuan utama dari pengawasan adalah agar proses pelaksanaan manajemen dilakukan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan dan melaksanakan tindakan perbaikan apabila terjadi penyimpangan – penyimpangan.
3.   Proses pengawasan
Pelaksanaan pengawasan atau pengendalian dilakukan melalui tahapan – tahapan sebagai berikut :
a.   Menentukan standar – standar ( sebagai dasar pengawasan )
b.   Mengukur hasil yang dicapai
c.   Membandingkan pelaksanaan dengan standar untuk mengetahui penyimpangan – penyimpangan atau perbedaan – perbedaan yang terjadi
d.   Memperbaiki penyimpangan – penyimpangan yang terjadi


4.   Jenis – jenis Pengawasan
Berdasarkan tujuannya, pengawasan dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis, yaitu :
a.   Pengawasan Produksi
b.   Pengawasan keuangan
c.   Pengawasan pegawai
d.   Pengawasan waktu
e.   Pengawasan kebijaksanaan
f.   Pengawasan teknis
g.   Pengawasan penjualan
h.   Pengawasan persediaan
i.     Pengawasan pemeliharaan

5.   Cara – cara Pengawasan
a.   Pengawsan langsung
Pengawasan langsung adalah pengawasan yang dilakukan langsung oleh pimpinan atau manejer sendiri, yaitu dengan memeriksa pekerjaan yang dilaksanakan oleh para bawahannya.

v Kebaikan pengawasan langsung :
·        Terjadi kontak langsung antara atasan dengan bawahan sehingga akan memperdekat jarak hubungan di antara mereka
·        Memberi kepuasan bagi bawahan, karena diperhatikan atasan
·        Dapat menampung sumbangan pikiran atau ide dari bawahan dan berguna untuk kebijaksanaan selanjutnya

v  Keburukan Pengawasan Langsung
·        Waktu dari seorang pimpinan/atasan banyak yang tersita sehingga akan mengurangi waktu untuk pekerjaan lainnya.
·        Inisiatif bawahan menjadi kurang, karena mereka akan merasa diawasi terus menerus oleh atasannya.
·        Biaya semakin besar, karena ongkos perjalanan semakin bertambah.
b.   Pengawasan Tidak Langsung
v Keburukan Pengawasan Tidak Langsung
·        Yang dilaporkan lebih banyak hanya yang baik-baiknya saja.
·        Laporan kurang/tidak objektif
·        Ada kecenderungan untuk menyenangkan atasannya saja.

6.   Macam-Macam Pengawasan
Pengawasan dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu:
a.   Pengawasan Intern (Internal Control)
b.   Pengawasan Pemeriksaan (Audit Control)
c.   Pengawasan Ekstern (External Control)
d.   Pengawasan Formal (Formal Control)
e.   Pengawasan Informal (Informal Control)


7.   Alat-Alat Pengawasan
a.   Anggaran (Budget)
b.   Bukan Anggaran (Non Budget)